HAK ISTRI, KEWAJIBAN SUAMI
Dalam Islam memberi nafkah kepada istri dan anak dimasukkan dalam kategori ibadah. Dari Sa'ad bin Abi Waqqash, Rasulullah SAW telah bersabda kepadanya, "Engkau tiada memberi belanja demi mencari ridha Allah, melainkan pasti diberi pahala, sekalipun yang engkau suapkan ke dalam mulut istrimu." (HR. Bukhari Muslim)
Bahkan nilai menghidupi anak dan istri itu lebih utama dari pada menyumbangkan harta demi perjuangan Islam sekalipun, sementara anak dan istri kelaparan. Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, "Satu dinar yang engkau belanjakan untuk perang di jalan Allah dan satu dinar yang engkau belanjakan untuk istrimu, yang paling besar pahalanya ialah apa yang engkau berikan kepada istrimu." (HR. Bukhari Muslim)
Istri berhak untuk mendapatkan belanja sewajarnya, tergantung seberapa besar kemampuan suami. Contohnya soal pangan dan pakaian. Kalau suami punya jatah makanan daging dan keju misalnya, maka istri berhak pula untuk mendapatkan makanan sekualitas itu. Sebaliknya bila sang suami cuma mampu membeli nasi dan ikan asin, istri pun tak boleh menuntut untuk bisa makan ayam.
Begitu pula dalam hal memberi pakaian, harus yang sekualitas. Bukan karena alasan suami sering keluar rumah, lantas dibelinya jas kemeja yang mahal-mahal sementara istrinya di rumah dibelikan daster butut.
Abu Sufyan adalah seorang sahabat Rasulullah SAW yang cukup berada. Sayangnya, ia tergolong pelit. Saking pelitnya, ia terlalu sedikit memberikan nafkah belanja kepada istrinya. Sang istri pun nekad, mencuri dari saku suaminya.
Dari Aisyah diceritakan, Hindun, istri Abu Sufyan berkata kepada Nabi, "Sungguh Abu Sufyan adalah orang yang kikir. Ia tidak memberiku belanja yang mencukupi bagi diriku dan anaknya, sehingga aku terpaksa mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya." Nabi pun menanggapi, "Ambillah sebanyak yang mencukupi dirimu dan anakmu dengan wajar." (HR. Bukhari dan Muslim)
Tetapi sekali lagi, tetap disesuaikan dengan kemampuan suami. Istri yang baik tak akan merengek-rengek meminta sesuatu yang tak kuat dibeli oleh suaminya. Allah menerangkan dalam surah Ath-Thalaaq ayat 7 : "Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan."
SEDEKAH ISTRI. Lalu bagaimana dengan istri yang bekerja dan dari pekerjaannya itu ia bisa menopang biaya hidupnya? Apakah suami tetap berkewajiban memberi nafkah?
Istri meminta atau tidak, memberi nafkah tetap menjadi tanggung jawab seorang suami. Apakah kalau istri tidak minta lantas suami cuma ongkang-ongkang? Enak betul kalau begitu.
Kendati istrinya berharta sekalipun, atau bergaji yang lumayana besar, tanggungjawab suami tidak gugur begitu saja. Ia wajib untuk tetap bekerja sekuat tenaga, walau dengan hasil minim, demi memenuhi tugas berat ini. Alangkah malunya bila sang istri sibuk dengan kerjanya di kantor sementara suaminya berleha-leha.
Dalam Islam, wanita benar-benar mendapatkan kedudukan sepantasnya yang amat terhormat. Perkawinan tidak mengubah kedudukannya menjadi budak suami. Ia tetap mempunyai hak-hak pribadi yang tak boleh diganggu walau oleh suami. Misalkan dalam hal harta kekayaan.
Istri yang berasal dari keluarga kaya, bisa jadi mendapat pesangon yang cukup besar dari keluarganya saat akan menikah. Atau didapatnya harta waris yang banyak dari orang tuanya yang meninggal dunia. Maka, Islam mengakui bahwa ia berhak memiliki sendiri hartanya tersebut. Demikian pula aturannya bila istri bekerja dan mendapat penghasilan atas kerjanya itu, maka akan dimasukkan dalam harta pribadinya.
Harta gono-gini (istilah Jawa), yaitu harta milik bersama suami istri yang didapat dari hasil gaji keduanya selama setelah pernikahan, tak ada dalam Islam. Bila istri berpenghasilan, maka bukan lantas milik bersama, tetapi tetap jadi haknya pribadi. Mengenai kerelaan istri untuk memberikan hartanya kepada suami, itu masalah lain, dan dinilai sebagai sedekah.
Adalah sepasang suami istri, Zainab dan Abdullah bin Mas'ud. Sang suami tergolong orang fakir, sementara istrinya memiliki harta pribadi yang lumayan, yang ingin ia sedekahkan. Maka ia pun mendatangi Rasulullah ditemani seorang wanita yang punya kepentingan sama. Ketika di depan rumah beliau mereka bertemu Bilal, berkata Zainab, "Katakanlah kepada beliau bahwa ada dua orang perempuan yang akan bertanya apakah cukup kalau harta mereka diberikan kepada suami mereka dan kepada anak yatim di rumah-rumah mereka? Tolong jangan kau katakan siapa kami."
Bilal pun masuk dan menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah SAW. Lebih dahulu beliau bertanya siapakah wanita itu. Bilal pun berkata, "Seorang wanita Anshar dan Zainab."
Zainab yang mana?
"Istri Abdullah bin Mas'ud."
"Mereka berdua akan mendapatkan dua pahala. satu pahala ibadah dan satu pahala sedekah," (HR. Bukhari & Muslim)
Apabila suatu waktu terjadi perceraian, maka harta pribadi istri tetap menjadi haknya. Kalaupun ada harta gono-gini, maka aturan pembagiannya fifty-fifty yang lazim digunakan orang adalah salah. Menurut Islam, harta istri tetap miliknya, tak ada hak suami atasnya.
bagi para wanita, ada kehormatan tinggi tersendiri. Tidak ada kewajiban bagi mereka untuk mencari nafkah. Bukannya menggambarkan wanita sebagai orang yang lemah dan tukang membebani laki-laki, tapi ini adalah penghormatan Islam kepada wanita seubungan dengan tugas mereka yang amat vital di dalam rumah keluarganya.
Seorang ayah wajib membiayai hidup anak-anak perempuannya sampai ia menikah. Bila ayah tidak mempunyai kesanggupan, tanggung jawab ini beralih ke pundak saudara laki-laki.
Rasulullah berkata, "Barangsiapa menanggung belanja tiga anak putri atau tiga saudara perempuan, maka pastilah ia memperoleh surga." (HR. Thahawi)
Bukan berarti bila saudara perempuan cuma satu lantas gugur kewajiban untuk menanggungnya. Hanya saja, belum dijamin surga. Bila ada tiga perempuan yang jadi tanggungannya, barulah surga bisa dijadikan jaminan. Kalau surga sudah dijanjikan sebagai balasan, dapat dipastikan bahwa ini adalah sebuah tugas berat.
Pada saat sang wanita menikah, tanggung jawab penghidupannya ada di tangan suami. Tetapi jika jadi janda, ia kembali menjadi tanggung jawab ayah dan saudara laki-lakinya. Dan bila tak ada seorang pun yang bisa menanggungnya, maka negara lah yang wajib memikirkannya.
Sedangkan kepada anak laki-laki, kewajiban orang tua menafkahi sampai mereka dewasa dan dianggap mampu mencari penghasilan sendiri. Seorang anak laki-laki yang sudah mencapai umur produktif, hendaknya jangan terus menggantungkan diri kepada orang tua. Belum lulus kuliah, bukanlah satu alasan yang tepat untuk mengangggur. Harus diupayakan kuliah sambil bekerja, seberat apapun pekerjaan itu.
Anjuran Islam ini, ternyata diterapkan di negara-negara Eropa dan Jepang. Anak laki-laki di sana merasa malu kalau masih hidup satu rumah dengan keluarganya. Biasanya mereka akan memisahkan diri dengan menyewa flat sederhana. Di sanalah ia belajar bekerja menghidupi diri sendiri sambil menjalani kuliah. Ada yang cuma jadi tukang cuci piring, tukang sapu atau penjual minuman, tetapi mereka bangga dengan hasil keringat sendiri. Hanya sayangnya, kesendirian mereka itu memberikan kesempatan untuk berbebas-bebas semaunya.
Seorang datang kepada Rasulullah dan bertanya, "Pekerjaan macam mana yang baik ya Rasulullah?" jawab beliau, "Seorang yang bekerja dengan tangannya sendiri." (HR. Bazzar)
laki-laki dewasa yang tidak mau bekerja itu tercela dalam Islam. Mereka yang masih membebani orang tua, sama halnya merampas hak bagi adik-adiknya yang lain.
Didalam kitab Uqudul Lujjain hal 3, karangan Imam Muhammad bin Umar Nawawi disebutkan mengenai hak istri, yang merupakan kewajiban suami.
1. Dipergauli dengan baik. Alloh berfirman: Dan pergaulilah mereka(para istri) dengan baik. Maksudnya harus adil dalam bermalam (jika memiliki istri lebih dari satu), diberi nafkah, memperindah dalam berkata-kata.
Alloh berfirman pula: Dan ada hak bagi mereka (para istri, yang merupakan kewajiban suami) seperti juga ada kewajiban mereka(yang merupakan hak suami) dengan ma’ruf. Arti ma’ruf adalah sesuatu yang dianggap baik oleh syara’ spt bergaul yang baik, tidak membuat susah baik bagi suami maupun istri.
Kata Ibnu Abbas, maksud dari ayat itu bahwa: aku suka berhias untuk istri saya, sebagaimana istriku suka berhias bagiku. (Saling mengimbangi dalam hal2 yang baik/berhias).
2. Diberikan mahar, serta nafkahnya
Alloh berfirman: Dan bagi laki2, atas mereka (para istri) ada satu derajat. Derajat disini maksudnya keutamaan. Seperti istri harus taat kepada suami. Karena para suami juga memiliki kewajiban, seperti memberi mahar(mas kawin), memberi nafkah untuk kemaslahatan istri. (Jadi urusan nafkah adalah kewajiban para suami).
3. Diperlakukan lemah lembut dan diurus.
Nabi bersabda ketika haji wada’ : Perhatikanlah, berwasiatlah dengan para istri akan kebaikan. Maksudnya: terimalah nasihatku mengenai para istri, lemah lembut dan pergaulilah dengan baik. Wasiat ini sangat diperhatikan, karena para istri itu lemah, dan mereka memerlukan orang yang bisa mengurus urusan mereka. Mereka seperti tawanan disisi suami.
4. Dimiliki untuk diperlakukan dengan baik.
Tidaklah suami memiliki istri sesuatupun selain hal itu (yaitu untuk berbuat baik), kecuali para istri melakukan nusyuz (durhaka) yang nyata. Yaitu terdapat tanda2 nusyuz. Maka kalau si istri durhaka, maka pisah ranjanglah. Artinya suami yang meninggalkan ranjang. Bukan sebaliknya. Dan tetap dalam satu rumah. Pisah ranjang ini tidak terbatas waktunya, karena hal ini diperlukan untuk memperbaiki perangainya. Bila belum sadar, bisa diteruskan bahkan sampai bertahun-tahun. Tetapi bila si istri sudah sadar, maka tidak boleh lagi pisah ranjang. Sebagian ulama berpendapat bahwa pisah ranjang paling lama sebulan.
Bila masih belum sadar, boleh dipukul, tetapi dengan pukulan yang tidak menyakitkan(tidak membekas). Tidak sampai patah tulang, tidak membuat cacat anggota badan.
Maka jika si istri sudah mentaati suami, maka suami tidak boleh mencari-cari jalan untuk dapat memukul istri, apalagi dengan zholim. Buatlah seolah2 tidak terjadi apa2. Karena orang yang sudah bertobat seperti orang yang tidak punya dosa.
5. Hak suami istri
Ketahuilah, sesungguhnya kamu para suami mempunyai hak yang merupakan kewajiban istri, dan istri juga punya hak yang merupakan kewajiban suami. Hak suami: bahwa para istri tidak boleh memasukkan ke tempat tidur akan orang yang tidak disukai oleh suami. Istri tidak boleh memberi izin di rumah kepada orang yang tidak disukai suami. Ketahuilah hak mereka para istri, yang merupakan kewajiban kamu para suami: bahwa suami memperlakukan dengan baik, baik dalam berpakaian maupun makanan.
(HR at Turmudzi dan Ibnu Majah).
Nabi bersabda: Hak wanita yang merupakan kewajiban suami: diberi makanan apabila suami makan, diberi pakaian apabila suami berpakaian, tidak boleh memukul wajah (ketika si istri durhaka), tidak boleh memburuk2an (artinya tidak memperdengarkan kata2 yang tidak disukai istri atau berkata: semoga Alloh memburukkan kamu), tidak boleh menghindari si istri kecuali dari ranjang(pisah ranjang). (Adapun tidak mengajak bicara, saling diam, hal itu termasuk haram, kecuali ada uzur) (HR at Thobroni dan al Hakim).
Nabi bersabda: Laki2 mana saja yang menikahi wanita, dengan sedikit mahar ataupun banyak, tetapi didirinya tidak ada keinginan untuk menunaikannya, lalu si laki2 malah menipu si wanita, lalu mati, dan belum menunaikan hak kepada si wanita, niscaya ia akan menjumpai Alloh pada hari kiamat dalam keadaaan berdosa (seperti orang yang zina). (HR at Thabroni).
Nabi bersabda: Sesungguhnya yang termasuk mukmin yang sempurna, adalah yang sebaik2 akhlaknya, dan paling lembut terhadap keluarganya (HR at Turmudzi dan al Hakim).
Nabi bersabda: barang siapa yang bersabar atas buruknya akhlak si istri, niscaya Alloh akan berikan kepadanya pahala seperti pahala yang diberikan kepada Ayyub as atas balanya.
Diriwayatkan: ada seorang laki2 mendatangi Umar ra ingin mengadukan buruknya akhlak si istri. Lalu si laki2 berdiri didepan pintu Umar.Ia menunggu Umar keluar. Lalu si laki2 mendengar istri Umar mencaci Umar. Tapi Umar diam saja, tidak membalas. Si laki2 pulang sambil berkata: Kalau Amirul mukminin seperti ini, bagaimana saya? Lalu Umar keluar, dan ia melihat si laki2 hendak pulang. lalu Umar memanggilnya: ada perlu apa? Laki2 itu menjawab: Wahai Amirul mukminin, saya datang ingin mengadukan buruknya akhlak istriku, serta ia suka menjelek2anku. Tetapi aku mendengarkan istrimu seperti itu juga. Aku pulang saja, aku bilang: kalau keadaan Amirul mukminin seperti itu bersama istrinya, bagaimana dengan saya?
Lalu Umar berkata: Wahai saudaraku: Aku tanggung saja hal itu, karena ada hak2nya dia atas saya. Dia memasak makanan saya, membuat roti untuk saya, memcuci baju saya, menyusui anak saya. Padahal hal itu tidak wajib baginya. Tapi hati saya tentram dengan dia dari perkara haram. Maka saya tanggung saja hal itu.
Lalu si laki2 itu berkata: Wahai Amirul mukminin, demikian pula istri saya seperti itu.
Umar berkata: Tanggung saja hal itu, hal itu cuma sebentar saja koq.
(Dari kisah ini, dapat diambil pelajaran, bahwa memasak, mencuci, urusan rumah tangga, semua bukanlah kewajiban istri. Jadi boleh saja si istri menolak, atau mengerjakan dengan meminta upah. Kalau sudah begini, maka suami wajib memberikan bayaran).
Barang siapa seorang istri bersabar atas buruknya akhlaq suaminya, niscaya Alloh akan memberikan pahala seperti pahala Asiyah, istri Fir’aun.
Kata Habib Abdulloh al Haddad: Laki2 yang sempurna agamanya yaitu yang toleransi/memaafkan/tidak kaku di dalam hak2nya suami, tetapi tidak ada toleransi didalam hak2 Alloh. Dan orang yang kurang agamanya, malah kebalikannya.
Satu Faedah
Boleh bagi suami untuk memukul istrinya yang tidak mau berhias, padahal si suami menginginkannya. Atau si istri tidak mau diajak tidur. Atau si istri keluar rumah tanpa izin suami, atau si istri memukul anak yang masih kecil ketika menangis. Atau si istri mencaci orang lain. Atau si istri merobek2 baju suami, memegang janggut suami sambil berkata: wahai keledai, wahai bodoh, sekalipun suami mencaci istri terlebih dahulu. Atau membuka aurat kepada orang lain. Atau si istri mengobrol dengan laki2 lain, atau berbicara dengan suami supaya laki2 lain mendengarnya. Atau si istri memberikan sesuatu dari rumahnya, tetapi si suami tidak biasa memberikannya. Maka dalam kasus ini si istri boleh dipukul.
Dan ada dua pendapat, bila si istri tidak mau sholat. Yang paling benar, boleh dipukul.
Seyogyanya, seorang suami mengingatkan istrinya, memberi wasiat. Di dalam hadits: Alloh memberi rahmat kepada seorang laki2 yang berseru: Wahai istriku, hati2 dengan sholatmu, puasamu, zakatmu, orang miskinmu, para anak yatimmu dan tetanggamu. Semoga Alloh mengumpulkan kalian bersama mereka di surga.
Seorang suami wajib memberi nafkah kepada istri menurut kemampuan suami. Juga wajib bersabar apabila si istri menyakitinya. Wajib lemah lembut. Karena istri memiliki kekurangan didalam agama dan akal.
Di dalam hadits: Kalau saja Alloh tidak menutup seorang wanita dengan rasa malu, niscaya wanita tidak akan bisa menyamai segenggam tanah.
Suami wajib mempergauli istri dengan jalan yang baik. Wajib diajarkan ilmu agama yang diperlukannya, seperti urusan bersuci (thoharoh), seperti mandi wajib setelah haidh dan junub, wudhu, tayammum. Dan juga ilmu haidh. Wajib memberi petunjuk mengenai haidh akan masalah sholat yang mesti diqodho. Terkadang, darahnya berhenti sebelum waktu maghrib seukuran waktu satu rokaat. Maka si wanita harus mengqodho zhuhur dan ashar. Atau terkadang darahnya berhenti sebelum subuh seukuran waktu satu rokaat, maka wajib pula mengqodho maghrib dan isya’.
Juga wajib diajarkan ibadat, wajib, sunah, sholat, puasa, haji.
Maka kalau si suami dapat mengajarkan ilmu tsb, maka si istri tidak boleh keluar mengaji. Tetapi kalau ilmu suami terbatas, tetapi si suami bisa menggantikan istri dalam mengaji (suami yang mengaji), lalu ia bisa memberi penjelasan kepada istri akan jawaban dari para ulama, maka si istri tidak boleh keluar rumah. Tapi kalau semua itu tidak bisa, maka si istri boleh keluar rumah untuk mengaji, bahkan wajib. Kalau si suami melarang, maka si suami malah berdosa. Pada kasus yang pertama, kapan2 si istri mau belajar ilmu2 yang fardhu, maka si istri tidak boleh keluar rumah kecuali dengan izin suami.
Nabi bersabda: Takutlah kepada Alloh pada masalah wanita. Sesungguhnya mereka adalah amanah disisimu. Barang siapa tidak menyuruh istrinya akan sholat, dan tidak mengajarinya urusan agama, niscaya ia telah berkhianat kepada Alloh dan RosulNya.
Alloh berfirman: Perintahkanlah ahlimu (keluarga, murid, pengikut) akan sholat.
Diriwayatkan dari Nabi saw: Alloh tidak akan menemui seorang dengan dosa yang lebih besar dari kebodohan keluarganya.
Pertama-tama yang akan bergantung kepada seorang laki2 pada hari kiamat adalah istrinya dan anaknya. Mereka berkata: ya Tuhanku ambilkan untuk kami akan hak kami dari laki2 ini. Karena ia tidak pernah mengajarkan kami akan urusan agama. Dia memberikan makanan yang haram padahal kami tidak tahu. Lalu si suami dipukul atas usaha haram tsb hingga berlepasan dagingnya, kemudian dibawa ke neraka.
Selasa, 10 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar