Di dalam kalangan leluhur jawasejak dahulu kala telah dikenal konsepsi sangkan-paraning-dumadi yang berarti asal mula lahirnya atau menjelmanya sukma atau ruh manusia yang disebut pancer yakni dari alam ghaib lahir ke alam dunia merasuk ke dalam raga atau badan sebagai wadah sukma (curiga manjing warangka). Inilah garis besar tentang ilmu Jawa sejak zaman purba yang disebut ’sedulur papat, limo pancer’ (saudara berempat, yang kelima adalah pancer).
Pancer atau sukma inilah yang tidak lain merupakan hakekat dari Guru Sejati. Sedangkan sedulur papat hakekatnya adalah empat macam nafsu manusia yakni nafsu lauwamah (pemenuhan biologis), amarah (angkara murka), supiyah (kenikmatan/ birahi), dan mutmainah (kemurnia dan kejujuran). Guru sejati sebagai penuntun/guru atas sedulur papat. Sifat-sifat nafsu selanjutnya dilambangkan dalam tokoh wayang yakni ; 1. Lauwamah = Dosomuko, 2. Amarah = Kumbokarno, 3. Supiyah = Sarpo Kenoko, 4. Mutma’inah = Gunawan Wibisono. Sedangkan ke lima yakni pancer diwujudkan dalam dimensi nafsu mulhimah (sebagai pengendali utama atau tali suh atas keempat nafsu sebelumnya. Sedulur papat lima pancer, dalam konsep pewayangan senada juga dengan makna hakikat dari tokoh Pendawa Lima (lihat dalam tulisan Pusaka Kalimasadha) .
Ini semua merupakan intisari dari ilmu Sastrajendra Hayuningrat. Dalam diri manusia (inner world) sedulur papat diwujudkan dalam empat unsur badan manusia yang mengiringi sejak manusia dilahirkan dimuka bumi, yakni ; waktu bayi lahir akan didahului air ketuban atau air kawah. Setelah keluar dari rahim ibu akan segera diikuti oleh plasenta atau ari-ari. Sewaktu lahir seorang bayi juga disertai keluarnya darah dan daging. Maka sedulur papat terdiri dari unsur kawah sebagai kakak, ari-ari sebagai adik, darah, dan daging. Jika keempat unsur disatukan maka jadilah lima pancer yakni jiwa yang menyatu ke dalam diri. Konsepsi tersebut erat kaitannya dengan konsep amateg aji (niat ingsun atau artikulasi kemantaban niat dalam mengawali segala sesuatu kegiatan/rencana/ usaha) dengan cara mengucap; kakang kawah adi ari-ari, kadhangku kang lahir nunggal sedino lan kadhangku kang lahir nunggal sewengi, sedulurku papat kiblat, kelimo pancer…ewang- ewangono aku..saperlu ono gawe.
Guru sejati adalah jiwa yang mengejawantah sebagai sukma sejati, sukma suci, atau ruh kita yang berhasil menguasai jasad, bukan ruh yang dikuasai jasad. Guru yang mengarahkan sedulur papat. Setiap ruh manusia bisa menjadi sukma sejati atau guru sejati, dengan sarat harus bisa menguasai empat saudara nya yang berupa satu kesatuan jasad yang meliputi ketiga nafsu kotor ykni nafsu lauwamah (nafsu serakah; makan, minum, kebutuhan ragawi), amarah (nafsu angkara murka), supiyah (mengejar kenikmatan duniawi). Sebaliknya jasad yang harus mengikuti kehendak sukma untuk menyamakan gelombangnya dengan gelombang Yang Maha Suci. Sukma menjadi suci tatkala sukma kita sesuai dengan karakter dan sifat-sifat gelombang Dzat Yang Maha Suci, yakni sifat-sifat Sang Khaliq yang meliputi 20 sifat.
Tradisi Jawa mengajarkan tatacara membangun sukma sejati dengan cara ‘manunggaling kawula Gusti’ atau kesatuan manusia dengan Tuhan (wahdatul wujud), warangka manjing curiga; manusia masuk kedalam diri Tuhan, ibarat Arya Sena masuk kedalam tubuh Dewaruci. Atau sebaliknya, Tuhan menitis ke dalam diri manusia; curigo manjing warongko, laksana Dewa Wishnu menitis ke dalam diri Prabu Kreshna.
Sebagai upaya manunggaling kawula gusti, segenap upaya awal dapat dilakukan seperti melalui ritual mesu budi, maladihening, tarak brata, tapa brata, puja brata, bangun di dalam tidur, sembahyang di dalam bekerja, bekerja di dalam diam. Tujuannya agar supaya mencapai tataran hakekat yakni dengan meninggalkan nafsul lauwamah, amarah, supiyah, dan menggapai nafsul mutmainah. Kehidupan manusia dalam ajaran Kejawen, sepanjang hidupnya amal perbuatan manusia hendaknya laksana berada dalam bulan suci Ramadhan. Pencapaian hidup manusia pada tataran tarekat dan hakikat secara intensif akan mendapat hadiah berupa kesucian ilmu makrifat. Suatu saat nanti, jika Tuhan telah menetapkan kehendakNya, manusia dapat ‘menyelam’ ke dalam tataran tertinggi yakni makna kodratullah. Yakni substansi dari manunggaling kawula gusti sebagai ajaran paling mendasar dalam ilmu Kejawen yang memiliki akar pada ajaran tarekat Syeh Siti Jenar. Manunggling Kawula Gusti = bersatunya Dzat Pencipta ke dalam diri mahluk. Pancaran Dzat telah bersemayan menerangi ke dalam ruh suci/roh kudus (ruhul kuddus) manusia. Derajat tertinggi yakni manunggaling kawulo gusti, akan dapat dicapai apabila manusia sudah benar-benar ‘lepas’ dari basyor atau raga/tubuh. Yakni jiwa yang telah merdeka dari penjajahan jasad.
Bagi kawruh Jawa, tataran tertinggi pencapaian ‘ilmu’ dapat ditandai apabila kita dapat menjumpai diri kita sendiri, yang tidak lain adalah Guru Sejati kita. Kita dapat berbincang dengan diri untuk mendengarkan nasehat-nasehatnya, petunjuknya yang tidak akan pernah bicara omong kosong, sebab Guru Sejati adalah sejatinya pancaran dari gelombang Yang Maha Suci. Di sana lah, kita sudah dekat dengan relung ’sastra jendra hayuning rat’ yakni ilmu linuwih, ilmunya dari segala macam ilmu, karena mata (batin) kita akan melihat dari apa-apa yang menjadi rahasia alam semesta, dan tertutup oleh pandangan visual manusia maupun teknologi. Tanda-tanda pencapaian itu antara lain, kadang manusia diizinkan Tuhan untuk mengetahui apa yang akan terjadi di masa mendatang. Orang-orang zaman dahulu kemudian menuangkannya dalam berbagai karya sastra kuno; suluk, serat, dan jangka (ramalan). Jangka atau ramalan diterima oleh budaya Jawa sebagai anugerah besar dari Tuhan, terkadang dianggap sebagai peringatan Tuhan, agar supaya manusia dapat mengkoreksi diri dan melakukan langkah antisipasi.
Orang-orang zaman dahulu pada masa kejayaan agama budi (kejawen), di masa kerajaan kuno hingga era Mataraman banyak yang dapat melakukan mukswa, atau moksa, yakni sempurnanya kematian, tanpa bekas bangkai jasad karena raga mengikuti jiwa menghadap kepada Sang Hyang Wenang. Jasad ibarat warangka, sedangkan jiwa diibaratkan sebagai curigo, seperti halnya keris dengan warangkanya sewaktu manusia masih hisup di alam dunia, keduanya tidak terpisahkan, jika pisah maka mati. Orang yang lahir ke dunia merupakan wujud dari curiga manjing warangka, sedangkan moksa adalah wujud warangka manjing curiga. Warangka atau jasad dapat ‘ditelan’ ke dalam curiga apabila jasad manusia merupakan jasad yang suci, yang tidak memperbudak jiwanya, jasad yang tidak dikotori angkara murka, jasad yang tidak kekenyangan nafsu lauwamah, tidak mengumbar nafsu amarah, dan jasad yang tidak mempertuankan nafsu supiyah, yakni jasad yang penuh dengan nafsul mutmainah. Atau jasad yang patuh kepada jiwa (yang suci), sehingga menjadikan kesucian keduanya; jiwa yang suci dan jasad yang suci pula.
Selasa, 10 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar